Krida Rakyat

SALAM ADALAH BAHASA UNIVERSAL SEBAGAI DOA BAGI SESAMA
Diani Febriasari M.Pd.*

Salam adalah cara bagi seseorang untuk secara sengaja mengkomunikasikan kesadaran akan kehadiran orang lain. Selain itu, salam juga digunakan untuk menunjukkan perhatian antarindividu. Sama seperti komunikasi lain, salam juga sangat dipengaruhi oleh budaya, situasi, serta dapat berubah akibat status dan hubungan sosial. Salam dapat diekspresikan melalui ucapan dan gerakan. Sebagai bentuk ucapan, salam bisa dikaitkan dengan kehidupan beragama. Dalam hal ini, salam yang erat kaitannya dengan kehidupan religius sebenarnya merupakan sebuah bentuk bahasa universal yang berfungsi sebagai penanda identitas religius, juga sebagai doa bagi sesama manusia.

Dalam setiap agama, selalu dijumpai adanya salam sebagai kekhasan sebuah keyakinan tertentu. Ada berbagai macam bahasa yang digunakan dalam mengucapkan salam akan tetapi salam tersebut memiliki makna yang sama, yakni doa bagi mitra bicara. Dalam Hindu kita mengenal Om Swastiastu yang bermakna ‘Semoga Tuhan memberkatimu’ atau Om Santi Santi Santi, Om, yang berarti ‘semoga damai di mana-mana”.

Dalam Islam, salam diambil dari bahasa Arab Assalamu Alaikum Wa Rahmatullahi Wa Barakatuh ‘damai kiranya menyertaimu’. Begitu pula Wa ‘Alaikum as-Salaam yang bermakna ‘dan kiranya damai menyertaimu juga’. Jika dalam bentuk lengkap maka salam kultur Islam ini bermakna Semoga Allah merahmati dan memberi keselamatan serta memberi berkah kepada kita sekalian atau ‘Damai kiranya menyertaimu dan juga belas kasih Allah dan berkah-Nya’. Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad mengajarkan bahwa mengucapkan salam merupakan perbuatan yang paling utama di antara perbuatan-perbuatan baik yang kita kerjakan.

Salam dalam kultur Yahudi juga memiliki makna kedamaian dan kesejahteraan bagi yang mengucapkan maupun yang menerima salam tersebut. Salam ini jika dilihat dari rumpun bahasa Semitik, dalam hal ini bahasa Ibrani bisa diucapkan dengan kalimat Shalom Aleichem yang berarti ‘Damai kiranya menyertaimu”. Balasan yang tepat untuk salam tersebut adalah Aleichem Shalom atau ‘Kiranya damai menyertaimu juga’. Salam Yahudi ini diambil dari nyanyian tradisional Yudaisme yang biasa dinyanyikan pada Sabat Yahudi. Bahkan ungkapan ‘Shalom Aleichem’ ini merupakan kata-kata untuk menyambut para malaikat yang dibawakan dengan sukacita.

Di dalam tradisi Kristen juga dikenal ungkapan salam yang diamanatkan sendiri oleh Yesus Kristus sebagai sosok sentral dalam iman Kristen. Salam juga diungkapkan melalui surat-surat gembala para murid Yesus sebagai kedekatan relasi. Dalam hal ini, umat manusia diharapkan saling mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat. Tradisi Kekristenan Timur menggambarkan sebuah salam dengan bahasa universal, yakni ‘Damai besertamu di dalam nama Kristus, jika diterjemahkan dalam bahasa Ibrani menjadi Shalom Aleichem b’Shem ha Mashiach. Pengaruh dari perkembangan zaman yang serba instan, banyak orang menganggap salam pun harus diucapkan sesingkat mungkin. Kesingkatan tersebut terlihat dari kalimat Shalom Aleichem b’Shem ha Mashiach yang sering disingkat menjadi shalom. Penyingkatan ini membuat makna ‘salam sebagai doa’ menjadi tidak lengkap, terlebih makin banyak yang tidak memahami makna rohaninya dan nyaris hanya menjadi seonggok kata dalam pergaulan atau kehidupan rohani saja. Dari penjelasan di atas, sebenarnya kalimat salam itu merupakan suatu doa yang begitu indah yang bisa kita berikan kepada setiap orang yang kita jumpai tanpa memandang latar belakang agama. Inilah sesungguhnya bahasa universal dari salam yang merupakan doa dan harapan kita bagi kebaikan semua orang. Akibat dari begitu universalnya bahasa salam ini, maka sekat-sekat bahasa seperti Arab, Ibrani, Sansekerta, Indonesia, Inggris menjadi tidak berlaku lagi. Hal ini terjadi karena semua bahasa salam yang dicontohkan di atas sesungguhnya memiliki fungsi dan doa yang sama bagi sesama kita. Marilah kita memberi salam dengan bahasa apapun yang kita yakini dan percaya bahwa itu adalah doa yang indah bagi sesama kita, tanpa membedakan agama kita.

*Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Unika Widya Mandala Madiun