Budak
(Oleh Ardi Wina Saputra)
Besok pagi tepat pukul 9 pagi, dijual atas kekuatan pengadilan satu keluarga budak belian milik Tuan Frederik Klomus. Budak-budak itu terdiri atas 3 kepala dengan rincian: Seorang wanita berusia 25 tahun terampil membuat kue dan masak-memasak, satu orang pemuda 20 tahun yang terampil mengecat rumah dan pertukangan, serta satu orang anak laki-laki berusia 10 tahun terampil menyemir sepatu dan bisa mengayuh sepedah. Itulah tulisan pertamaku di Soerabaijas Advertentie Blad tertanggal 5 Desember 1843. Tulisan yang benar-benar membuatku merasa berdosa dan harus kupertanggungjawabkan hari ini juga dalam perjalanan menuju ke Malang.
“Jadi benar, Ibu adalah wanita yang kutulis lima tahun lalu dalam iklan ini?”
“Benar Tuan”
“Maaf bukan bermaksud meragukanmu tapi aku hanya ingin memastikan saja bahwa engkaulah orang itu”
“Baik Tuan, tidak apa-apa”
“Saat itu, pukul 9 pagi kau dibawa ke mana dan apa yang terjadi?”
“Pemilikku, Tuan Klomus membawaku ke Vendulokaal [1]bersama lelaki itu dan anak ini. Di sana aku diminta berdiri di pelataran kemudian para pembeli satu per satu memeriksaku.”
“Apa yang mereka periksa?”
“Kecantikanku Tuan, tak sedikit yang mengacungkan telunjuk jarinya ke dada, perut, dan pantattku”
“Lalu siapa yang berhasil membelimu?”
“Namanya tuan Binkhyusen, salah satu orang yang bekerja di Pemerintahan”
“Berapa harganya?”
“Harga rata-rata 372 Gulden per budak tapi jika sudah berkeluarga maka wajib dibeli sepaket dengan harga 5000 Gulden. Jadi saya dibeli dengan harga itu Tuan.”
“ Lima ribu Gulden?”
“Ya tuan”
“Saat menjemputmu agar naik di kereta ini, aku tak melihat suamimu di rumah Binkhusyen. Ke mana mereka?”
“Setelah Bhinkusyen membeliku, suamiku dijual secara tidak resmi pada pegawai pemerintah yang sedang mengerjakan proyek pelabuhan Tanjung Perak. Hingga kini dia tak pulang”
“Kau tak mencarinya?”
“Buat apa mencarinya Tuan. Perasaanku sudah mati terhadapnya!”
“Kenapa?”
“Namaku Paulina van Pekalongan, aku dari Pekalongan. Namanya Radjab van Macassar, dia dari Makasar dan nama anak yang dijual sepaket denganku adalah Papi van Boegis. Kami berasal dari tiga tempat berbeda Tuan!”
“Maksudmu kau ingin mengatakan bahwa keluarga yang kalian bentuk hanyalah setingan?”
“Iya Tuan agar kami bisa hidup dan dibeli orang”
“Mengapa demikian?”
“Kami dan para budak lainya yang tuan tulis, sesungguhnya sudah diperbudak dan dijual dari tangan satu ke tangan lainya hingga sampailah kami di Surabaya”
“Eh tapi peraturan mengatakan bahwa pembeli harus memperlakukan budak sebaik-baiknya. Memberinya makan dan minum serta pakaian layak. Apabila sudah berkeluarga maka tidak boleh dipisahkan dan setiap anak mendapat uang saku ½ Gulden tiap bulan!”
“Peraturan berlaku hanya untuk budak, sedangkan untuk pemilik hanya tertulis saja. Sekarang apakah Tuan pernah lihat pemilik budak dipenjarakan oleh budaknya?”
“……”
“Jika kami melapor maka kami yang akan dilaporkan dan dijebloskan ke Penjara Kalisosok yang mengerikan itu. Oleh sebab itu kamilah yang harus menyesuaikan peraturan-peraturan tentang perbudakan.”
“….”
Aku terdiam tak mampu menjawab sepatah katapun kebenaran yang disampaikan oleh wanita di hadapanku ini. Penaku sejak tadi terus berjalan melintasi lembar demi lembar buku yang kupangku di atas pahaku ini. Di samping wanita itu ada anak laki-laki yang sejak tadi sibuk memakan coklat. Di tanganya hanya tinggal ada satu saja. Kuambil beberapa roti di tasku, kemudian kusodorkan padanya.
“Ambillah, kulihat coklatmu hampir habis!”
“Terima kasih Tuan”
“Sopan sekali, siapa yang mengajarimu?”
“Tuan Frederik yang mengajariku dia sangat baik”
“Mengapa dia mengajarimu?”
“Dia kasihan padaku Tuan, dia berkata bahwa aku seperti dirinya saat kecil dulu yang juga berasal dari keluarga tidak mampu”
“Lalu kenapa dia menjualmu?”
“Tugasnya di Soerabaia sudah selesai, dia hendak pindah ke Borneo”
“Oke apa pesan yang diberikan Federik padamu?”
“Ci…ta Ci… ta”
“Cita-cita, oh dia mengajarkanmu tentang cita-cita?”
“Ya Tuan, Cita-cita”
“Apa itu cita-cita?”
“Keinginan di masa depan saat aku sudah seusianya”
“Memangnya kau ingin jadi apa?”
“Entahlah aku bingung”
“Kenapa kau bingung?”
“Paman berkata bahwa di Hindia ini semua pekerjaan yang baik hanya bisa diperoleh dengan dua cara dan aku pasti tak bisa mencapainya”
“Dua cara? Apa saja?”
“Pertama, harus menjadi keluarga pegawai pemerintahan. Kedua, jika aku bukan keluarga pegawai maka aku harus punya uang banyak untuk diberikan pada yang memberi kerja!”
“Tidak Nak, kau juga harus memiliki kemampuan untuk bisa bekerja sesuai keinginanmu”
“Tuan membohongi saya”
“Tidak, aku hanya berusaha memotivasimu”
“ Kalau tuan tidak bohong, kenapa Pamanku yang pandai pertukangan itu tidak bekerja sebagai tukang di kantor gubernur saja”
“Apa karena hasil kerjaanya jelek?”
“Tidak tuan, tapi karena paman tidak punya hubungan dengan orang pemerintahan, bakatnya jadi sulit dilihat”
“Apakah di sini sistem kerjanya begitu?”
“Ya Tuan, karya dan kualitas bukanlah jaminan untuk mendapatkan pekerjaan yang bagus di negeriku”
“Mengapa demikian?”
“Tuan jangan kaget! Itu sudah biasa. Banyak orang yang ingin menyelamatkan perutnya sendiri dan keturunanya. Orang yang dilahirkan bukan dari kalangan atas sepertiku ini jangan harap punya cita-cita tinggi!”
“Apakah kau putus asa?”
“Tidak! Aku hanya berbicara kenyataan Tuan!”
“Apakah kau tidak sekolah?”
“Aku tidak sekolah, tapi aku berteman dengan Jhonson keponakan Frank yang sekolah di MULO[2] dia sering mengajariku banyak hal”
“Apa saja?”
“Membaca dan melihat buku cerita”
“Frank tidak menyuruhmu untuk sekolah?”
“Tidak Tuan, tapi Frank berpesan padaku bahwa sekolah untuk menambah kualitas hidup bukan untuk menambah pengetahuan!”
“Maksudnya?”
“Frank sekolah kaarena dia tahu bahwa setelah lulus dia akan melanjutkan pekerjaan papinya di Pabrik Gula Pagoetan Madiun. Teman-temanya pun juga demkian”
“Apakah itu berarti kau percuma jika sekolah?”
“Iya Tuan, buat apa aku sekolah jika nanti setelah lulus tak dapat pekerjaan hanya karena bukan anak Belanda”
“Lalu apa yang kau lakukan? Apa kau putus asa?”
“Tidak Tuan aku belajar dari alam dan dari semua yang kutemui untuk bisa bertahan hidup”
“Hanya untuk bertahan hidup? Tidak untuk cita-cita!”
“Ya Tuan, hanya untuk bertahan hidup. Percuma aku punya cita-cita!”
“…”
Perkataan anak ini benar benar membuat mulutku terbungkam. Sejenak kemudian aku mengeluarkan beberapa botol minuman dan kami bertiga minum bersama. Ibu dan anak itu terlihat sangat senang dengan hidangan yang kusajikan. Kereta semakin kencang menuju ke Malang. Sesampainya di Malang nanti, mereka akan kuantarkan ke rumah sahabatku Downes de Klaark di Idjen Boulevard. Dia adalah konglomerat sekaligus sahabatku yang kuminta membeli dua budak ini secara ilegal dari Soerabaia. Sengaja aku merancangnya agar aku bisa leluasa mewawancarainya, dan kukirimkan pada koran dengan nama samaran. Membuka mata pejabat yang masih punya hati dan menyuarakan bahwa perbudakan belum selesai dan harus dihentikan! Semoga mata mereka terbuka! Semoga!
Dosen Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya Kampus Kota Madiun
Dimuat di Jawa Pos-Radar Madiun-Edisi Minggu Agustus 2020
[1] Tempat yang berbentuk semacam pelataran untuk menjual atau melelang budak
[2] Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (sekolah setara SMA)